Sumber : Detik Finance
Peluang Impor Minyak Rusia oleh Pemerintah: Analisis dan Tantangan Diplomatik
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka opsi untuk mengimpor minyak dari Rusia. Namun, langkah ini memerlukan analisis lebih mendalam terkait biaya dan manfaat atau cost-benefit analysis (CBA) sebelum direalisasikan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengungkapkan bahwa saat ini Rusia sedang menghadapi sanksi dari Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Uni Eropa. Di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden, AS telah memberlakukan sanksi terhadap berbagai perusahaan Rusia, termasuk pembatasan ekspor.
“Perlu diingat bahwa sanksi dari negara Barat terhadap Rusia tidak hanya mencakup minyak, tetapi juga aspek lain seperti pengapalan dan perusahaan yang menyediakan asuransi untuk pengiriman,” ujar Fabby kepada detikcom, Minggu (12/1/2025). Ia menjelaskan bahwa sanksi tersebut dapat meningkatkan biaya logistik apabila Indonesia memilih untuk mengimpor minyak dari Rusia.
Selain itu, Fabby menilai bahwa impor minyak dari Rusia berpotensi menimbulkan tekanan dari negara-negara Barat. Hal ini dapat berdampak pada hubungan diplomasi Indonesia dengan AS dan sekutu-sekutunya. “Apakah Indonesia siap menghadapi tekanan dari negara-negara Barat? Meski kita bisa membeli minyak dengan harga lebih murah, implikasinya bisa memengaruhi hubungan diplomatik dengan Amerika dan Eropa,” tambahnya.
Fabby juga menyoroti kesesuaian jenis minyak mentah Rusia dengan kebutuhan kilang di Indonesia. Menurutnya, kilang minyak dirancang untuk mengolah jenis minyak tertentu agar menghasilkan performa optimal. “Kalau Menteri Bahlil mengatakan ingin membeli, pertanyaannya adalah apakah minyak Rusia cocok untuk diolah di kilang kita? Jika iya, di mana lokasinya dan seberapa besar hasil produksinya?” terangnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek dalam melakukan analisis biaya dan manfaat, termasuk dampak terhadap hubungan internasional. “Biaya yang dimaksud bukan hanya finansial, tetapi juga mencakup relasi diplomatik dan hubungan antarnegara. Semua itu perlu dipertimbangkan,” tegas Fabby.
Pendapat Pakar Ekonomi Energi
Sementara itu, Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai bahwa sanksi AS dan negara Barat terhadap Rusia berkaitan dengan konflik Rusia-Ukraina. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mencermati kembali larangan-larangan tersebut.
Meski Indonesia tidak termasuk negara yang dilarang mengimpor minyak Rusia, Fahmy memperingatkan bahwa langkah ini dapat mengganggu hubungan diplomasi dengan negara Barat, khususnya AS. “Secara diplomatik, ini mungkin bisa menimbulkan gangguan,” ujar Fahmy kepada detikcom.
Ia juga menambahkan bahwa AS berpotensi memberlakukan sanksi terhadap Indonesia, misalnya melalui pembatasan ekspor. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan apakah larangan impor minyak dari Rusia masih berlaku. “Jika aturan itu dilanggar, kemungkinan AS akan merespons dengan pembatasan ekspor ke Indonesia,” jelasnya.
Indonesia dan Blok BRICS
Diketahui, Indonesia telah resmi bergabung dengan blok ekonomi BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Menyikapi hal tersebut, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan peluang untuk mengimpor minyak dari Rusia tetap terbuka, asalkan sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Sebagai negara dengan prinsip politik bebas aktif, Indonesia dapat bekerja sama dengan negara mana pun selama tidak melanggar regulasi. Jika peluang mendapatkan minyak dari Rusia itu ada dan sesuai aturan, maka mengapa tidak?” ungkap Bahlil di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (10/1).
Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada kebijakan luar negeri yang independen sembari mengeksplorasi berbagai peluang ekonomi di tengah dinamika geopolitik global.
Baca Juga : Pemerintah Thailand Bakal Legalkan Judi Demi Genjot Ekonomi
#brics #minyak #esdm